This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 07 April 2011

PENDUDUK MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

BAB I
PENDAHULUAN
  Hampir seluruh ahli jiwa sependapat bahwa sesungguhnya kebutuhan pokok manusia tidak hanya merupakan sandang, pangan dan papan, melainkan ada sebuah keinginan yang universal. Seperti halnya kebutuhan akan kekuasaaan dan kinginan tersebut bersifat kodrati yang berkeinginan saling cinta dan dicintai Tuhan.
  Seperti halnya hubungan manusia dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan ibadah dan hubungan manusia dengan manusia yang biasa disebut dengan sosialisasi. Manusia mengabdikan diri kepadaTuhan sebagai yang mempunyai kekuasaan tertinggi di alam jagat raya.
Keinginan dalam diri manusia mulai dari manusia paling primitive sampai dengan manusia paling modern.
Sehingga muncullah beberapa pertanyaan bagaimana pribadi seseorang mengabdikan diri kepada Tuhan dan apakah semua itu menjadi sumber kejiwaan agama. Semua pertanyaan tersebut menjadi sumber teori tentang kejiwaan agama yang akan dibahas lebih lanjut.

BAB II
PEMBAHASAN
A. TEORI TENTANG SUMBER KEJIWAAN AGAMA
1. TEORI MONISTIK (MONO=SATU)

  Pendapat teori ini, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya sumber tunggal yang paling dominan dalam kejiwaan menurut sejumlah para ahli yaitu:
a. Thomas Van Aquino
Sumber keagamaan yaitu berfikir. Manusia bertuhan karena manusia menggunakan pikirannya. Hal ini membuat para ahli keagamaan menjadikan hal ini sebagai tolak ukur bahwa berfikir adalah satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.
b. Fredrick Hegel
  Sumber dari pada agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi. Berdasarkan hal itu menjadikan bahwa agama merupakan hal atau persoalan yang hanya berhubungan dengan pikiran.
c. Fredrick Schleimacher
 Yang menjadi sumber keagamaan yaitu rasa ketergantungan yang mutlak (sence of depend). Dengan adanya ketergantungan ini menusia menganggap dirinya lemah. Dan kelemahan ini lah yang menjadikan manusia tergantung dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Rasa ketergantungan inilah yang terbentuk adanya konsep tentang tuhan, dan merasa dirinya tidak sanggup dengan apa yang sedang dialami dirinya di alam ini.
d. Rudolf Otto
Yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari yang sama sekali lain (the wholly other).
e. Sigmund Freud
Yang menjadi sumber kejiwaan adalah libido sexual (naluri seksual). Berdasarkan libido timbullah ide tentang keagamaan dan upacara kegamaan setelah melalui proses sebagai berikut:
1. Oedipoes Complex yakni mitos Yunani Kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya Oedipoes membunuh ayahnya, kejadian berikut berawal dari manusia primitif. Mereka bersekongklol untuk membunuh ayah yang berasal dari masyarakat promiscuitas. Setelah ayahnya mati, maka timbullah rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak-anak itu.
2. Father Image (Citra Bapak). Setelah mereka membunuh ayah mereka dan dihantui oleh rasa bersalah itu timbullah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat suatu cara penebus kesalahan mereka yang mereka lakukan. Timbullah keinginana untuk memuja arwah ayah yang terlah mereka bunuh itu karena khawatir akan pembalasan arwah ayah tersebut. Realisasi pemujaan itu menurutnya sebagai upacara kegamaan.
Jadi dapat disimpulkan menurut Freud agama muncul dari ilusy (khayalan) manusia. Sigmund Freud bertambah yakin akan kebenaran pendapatnya berdasarkan kebencian setiap agama adalah dosa. Dan dalam lingkungannya dalam agama Nasrani Freud menyaksikan kata “Bapak” menjadi untaian setiap doa mereka.
f. William Mac Dougall
Instink yang menjadi sumber keagamaan yang lebih khusus itu tidak ada, melainkan sumber keagamaan yang merupakan seluruh kumpulan-kumpulan dari beberapa instink. Menurut Mac Dougall pada diri manusia terdapat 14 instink.
  Akan tetapi para ilmuan membantah jika sumber keagamaan adalah berasal dari instink dengan alasan jika sumber keagamaan berdasarkan dari instink maka jika manusia mendengar suara Azdan maka dengan sendirinya tanpa belajarpun manusia akan langsung pergi ke Mesjid tapi untuk kenyataanya tidak seperti itu.
2. TEORI FAKULTI (Faculty teory)
Teori fakulti berpendapat bahwa tingkah laku manusia tidak hanya bersumber pada faktor yang tunggal tetapi terdiri dari beberapa unsur yang berfungsi memegang peran penting yaitu:
a. Cipta (reason) berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
b. Rasa (emotion) menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
c. Karsa (will) menimbulkan amalan-amalan yang benar atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.
3. BEBERAPA PEMUKA TEORI FAKULTI
A. G. M. Straton
G. M. Straton mengemukakan teori konflik bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia, yaitu keadaan berlawanan seperti baik-buruk, moral-imoral, kepasifan-keaktifan, rendah diri dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan (konflik) dalam diri manusia.
Jika konflik-itu sudah mencekam dari diri manusia dan mempengaruhi kejiwaannya, maka manusia itu mencari pertolongan kepada suatu pertolongan kekuasaan yang tertinggi (Tuhan). Konflik yang tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan dorongan dasar (basic-urge), sebagai keadaan yang menyebabkan timbulnya konflik tersebut.
Sigmund Freud berpendapat bahwa dalam setiap organis terdapat dua konflik kejiwaan yang mendasar, yaitu:
a. Life-Urge (berumur panjang) yaitu keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari keadaan yang terdahulu agar terus berlanjut.
b. Death-Urge (hari akhirat) yaitu keinginan untuk kembali kepada keadaan semula sebagai benda mati (anorganis)
  Akan tetapi ekspresi dari pertentangan life-urge dan death-urge menurut pendapat W. H. Clark yaitu merupakan sumber kejiwaan dalam diri manusia. Demikian kenyataan bahwa life-urge membawa penganut agama kearah pandangan yang positif dan liberal. Tetapi, death-urge membawa sikap pasif dan koservativisme (jumud).
B. Zakiah Daradjat
  Pendapat yang dikemukakan oleh Zakiah Daradjat pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Unsur-unsur yang dikemukakan yaitu:
1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang yaitu kebutuhan manusia yang mendambakan rasa kasih. Akan tetapi     pernyataan tersebut dalam bentuk negatifnya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari.
2. Kebutuhan akan rasa aman merupkan kebutuhan yang mendorong manusia mengharapkan adanya perlindungan.
3. Kebutuhan akan rasa harga diri adalah kebutuhan yang bersifat individual ang mendorong manusia agar dihormati dan diakui keberadaan dirinya oleh orang lain.
4. Kebutuhan akan rasa bebas adalah kebutuhan yang menyebabkan seseorang bertindak secara bebas untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega.
5. Kebutuhan akan rasa sukses merupakan kebutuhan manusia yang menyebabkan manusia tersebut mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil karyanya.
6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal) adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu.
Gabungan dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang membutuhkan agama.
C. W. H. THOMAS
Yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia, yaitu:
1. Keinginan untuk keselamatan (security)
2. Keinginan untuk mendapatkan penghargaan (recognition)
3. Keinginan untuk ditanggapi (response)
4. Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience)
  Melalui keinginan yang telah dikemukakan diatas, pada umumnya manusia menganut agama. Melalui ajaran yang dianut secara teratur, dengan menyembah dan mengabdi diri kepada Tuhan, keinginan untuk keselamatan akan terpenuhi.
B. TIMBULNYA JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK
  Manusia dilahrkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Akan tetapi telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten yang mempunyai potensi dengan sedikit bimbingan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini.
Sesduai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya yaitu:
a. Prinsip biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah, sehingga segala sesuatunya membutuhkan bantuan dari orang-orang dewasa.
b. Prinsip Tanpa Daya
Berdasarkan Psikis dan fisik seorang anak membutuhkan bantuan orang tuanya myulai sejak lahir sampai dewasa.
c. Prinsip Eksplorasi
  Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharan dan latihan.
Timbulnya Agama Pada Anak
  Menurut para ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Adapula yang berpendapat bahwa anak dilahirkan telah membawa fitrah. Fitrah itu berfungsi dikemudian hari melalui proses dan bimbingan dan latihan setelah pada tahap kematangan. Marilah kita kemukakan beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain:
1. Rasa Ketergantungan (sense of dependent)
Bayi yang dilahirkan memiliki empat macam keinginan yaitu:
- keinginan untuk perlindungan (security)
- keinginan akan pengalaman baru (new experience)
- keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response)
- keinginan untuk dikenal (recognition)
2. Instink Keagamaan
C. PERKEMBANGAN AGAMA PADA ANAK-ANAK
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan anak-anak melalui beberapa fase, dalam bukunya The Development of Religious on Children, mengungkapkan bahwa perkembangan keagamaan anak-anak melalui tiga tingkatan, yaitu:
D. The fairy tale stage (tingkat dongeng), biasanya berada pada usia 3-6 tahun, karena pada usia ini biasanya konsep mengenai Tuhan dipengaruhi oleh tingkat fantasi dan emosi.
E. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan), biasanya memasuki anak memasuki sekolah dasar yang mana anak didasarkan pada realitas.
F. The Individual Stage (Tingkat Individual), pada tringkat ini anak mempunyai tingkat emosi yang paling tinggi sejalan dengan usia mereka. Konsep individual terdiri dari tiga golongan yaitu:
- konsep ke-Tuhanan yang konvesional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
- Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
- Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini biasanya dipengaruhi tingkat intern.
Semua itu menunjukan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan potensi agama sudah ada sejak lahir. Pada hakikatnya dengan adanya potensi bawaan adalah manusia pada hakikatnya makhluk yang beragama.
D. SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK-ANAK
  konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat kegamaan pada anak-anak. Sesuai dengan cirri maka sifat agama pada anak-anak tumbuh melalui pola ideas concept on outhority. Orang tua berpearan penuh dalam eksplorasi yang mereka miliki. Jadi ketaatan yang dimiliki anak-anak dalam beragamanya yang mereka pelajari dari orangtua dan guru mereka. Hal ini menjadikan sifat dan bentuk dan sifat agama pada diri anak dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Unreflective (Tidak mendalam). Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73% tuhan bersifat sepaerti manusia. Akan tetapi ketajaman anak-anak akan Agama berada sekitar usia 12 tahun baru mengerti sejalan dengan pertumbuhan moral.
2. Egosentris. Seorang anak sadar akan memiliki kesadaran diri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan perertambahan pengalaman.
3. Anthromorphis. Konsep ke-Tuhanan basal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Sehingga menghasilkan bentuk fantasi berdasarkan diri pribadi masing-masing.
4. Verbalis dan Ritualis. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat ritualis (praktik) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu cirri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
5. Imitatif. Pendidikan keagamaan (religious peadagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan (religious behaviour) melalui sifat meniru.
6. Rasa Heran. Rasa heran dan takjub ini adalah sifat ynag terahir yang diperoleh dari cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
E. PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA REMAJA
1. Perkembangan Rasa Agama
Dalam pembagian tahap maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagiannya masa remaja agak terurai mencakup masa Juvenilitas (adolescantium), pubertas, dan nubilitas. Perkembangan agama pada para remaja ditandai oelh beberapa fakor perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan tersebut menurut W. Starbuck adalah:
a. Pertumbuhan pikiran dan mental, perkembangan pikiran dan mental ini mempengaruhi sikap keagamaan mereka.
b. Perkembangan Perasaan, berbagai perasaan berkembang pada masa remaja, perasaan social, etis dan estesis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya.
c. Pertimbangan Sosial, dalam kehidupan kegamaan mereka timbullah konflik antara pertimbangan moral dan material.
d. Perkembangan Moral. Perekembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencapai proteksi. Tipe moral mencakupi pada para remaja:
- Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
- Adaptive, menghadapi situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
- Submissive, meragukan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
- Unadjusted, belum menyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral
- Deviant, menolak dasar dan hokum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
e. Sikap dan Minat, terhadap masalah keagamaan sangat kecil dan ini tergantung dari kebiasaan sejak kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka.
f. Ibadah, sebagian para remaja ritual keagamaan (sembahyang) sebagai media komunikasi dengan tuhan dan ada juga yang bearanggapan bahwa Ibadah hanya sebagai ritual meditasi.

F. KONFLIK DAN KERAGUAN
  Dari analisis hasil penelitian W. Starbuck menumukan penyebab timbulnya keraguan antara lain:
1. Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin.
Salah tafsir disini karena adanya kegagalan akan pertolongan tuhan dan mengakibatkan sifat salah tafsir akan sifat Tuhan Yang Maha pengasih dan Maha Penyayang. Hal ini bisa terjadi pada remaja yang taat beragama. Jika keraguan pada Jenis kelamin dan kematangan menentukan beberapa faktor dalam keagamaan.
2. Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama.
3. Pernyataan Kebutuhan Manusia.
4. Kebiasaan.
5. Pendidikan.
6. Percampuran antara Agama dan Mistik.
Selanjutnya secara individu sering pula terjadi keraguan yang disebabkan beberapa hal diantara lain:
1. Kepercayaan, menyangkut maslah Ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan sebagai trinitas.
2. Tempat Suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci agama.
3. Alat pelengkapan keagamaan
4. Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan.
5. Pemuka Agama
6. Perbedaan Aliran dalam keagamaan, sekte (dalam aliran Kristen) atau Mazhab (Islam).
Keraguan diatas dapat menimbulkan konflik yang muncul dalam diri remaja diantaranya:
1. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
2. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan.
3. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme.
4. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan kegamaan yang didasarkan antara petunjuk ilahi.
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja, sebenarnya banyak tergantung dari mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam diri. Usia remaja adalah usia yang rawan yang mempunyai karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Secara fisik anak remaja dapat tumbuh pesat seperti orang dewasa bahkan penampilan juga bisa bersikap dewasa tetapi secara psikologi belum. Berdasarkan dari pendekatan itu diharapkan para remaja akan melihat bahwa agama bukan hanya sekedar lakon ritual semata.

BAB III
PENUTUP
  Melalui pendekatan dan pemetaan nilai-nilai ajaran agama yang lengkap dan utuh seperti itu, setidaknya akan memberi kesadaran baru bagi remaja dan anak-anak. Dengan demikian diharapkan remaja dan anak-anak dapat termotifasi untuk mengenal ajaran agama dalam bentuk yang sebenarnya. Agama yang mengandung nilai-nilai ajaran yang sejalan dengan fitrah manusia, universal, dan bertumpu pada pembentukan sikap akhlak mulia .
 
 
 

REMAJA DAN PERMASALAHANNYA

Berbicara mengenai masalah remaja tidak akan habis2nya, namun saya hanya menyumbangkan sebagian kecil pemikiran masalah kenakalan remaja yang mungkin saja berguna untuk menambah pengetahuan para pembaca.
Saat ini generasi muda khususnya remaja, telah digembleng berbagai disiplin ilmu. Hal itu tak lain adalah persiapan mengemban tugas pembangungan pada masa yang akan datang, masa penyerahan tanggung jawab dari generasi tua ke generasi muda. Sudah banyak generasi muda yang menyadari peranan dan tanggung jawabnya terhadap negara di masa yang akan datang. Tetapi, dibalik semua itu ada sebagian generasi muda yang kurang menyadari tanggung jawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
Disatu pihak remaja berusaha berlomba2 dan bersaing dalam menimba ilmu, tetapi dilain pihak remaja berusaha menghancurkan nilai2 moralnya sebagai manusia. Hal ini sangat memprihatinkan bagi kita semua. Memang tingkah laku mereka hanyalah merupakan masalah kenakalan remaja, tetapu lama-kelamaan menuju suatu tindakan kriminalitas yang sangat meresahkan.
Pada umunya kenakalan remaja ini dilakukan oleh anak yang berumur antara 15-18 tahun. Masa remaja merupakan masa dimana sedang beralihnya masa anak2 menuju masa kedewasaan. Pada masa ini jiwa mereka masih labil dan mereka tidak memiliki pegangan yang pasti. Mereka berbuat sesuai dengan pikiran dan nalar, perbuatan itu mereka lakukan dalam mencari jati diri mereka sebenarnya.
Kenakalan remaja itu harus diatasi, dicegah dan dikendalikan sedini mungkin agar tidak berkembang menjadi tindak kriminal yang lebih besar yang dapat merugikan dirinya sendiri, lingkungan masyarakat dan masa depan bangsa.
Masalah remaja sebagai usia bermasalah. Setiap periode hidup manusia punya masalahnya sendiri2, termasuk periode remaja. Remaja seringkali sulit mengatasi masalah mereka. Ada dua alasan hal itu terjadi, yaitu : pertama; ketika masih anak2, seluruh masalah mereka selalu diatasi oleh orang2 dewasa. Hal inilah yang membuat remaja tidak mempunyai pengalaman dalam menghadapi masalah. Kedua; karena remaja merasa dirinya telah mandiri, maka mereka mempunyai gengsi dan menolak bantuan dari orang dewasa.
Remaja pada umunya mengalami bahwa pencarian jati diri atau keutuhan diri itu suatu masalah utama karena adanya perubahan2 sosial, fisiologi dan psikologis di dalam diri mereka maupun di tengah masyarakat tempat mereka hidup. Perubahan2 ini dipergencar dalam masyarakat kita yang semakin kompleks dan berteknologi modern.
Arus perubahan kehidupan yang berjalan amat cepat cenderung membuat individu merasa hanya seperti sebuah sekrup dalam mesin raksasa daripada seorang makhluk utuh yang memiliki di dalam dirinya suatu keyakinan akan identitas dir sebagai seorang pribadi.
Adapun masalah yang dihadapi remaja masa kini antara lain :
a. kebutuhan akan figur teladan
Remaja jauh lebih mudah terkesan akan nilai2 luhur yang berlangsung dari keteladanan orang tua mereka daripada hanya sekedar nasihat2 bagus yagn tinggal hanya kata2 indah.
b. sikap apatis
Sikap apatis meruapakan kecenderungan untuk menolak sesuatu dan pada saat yang b ersamaan tidak mau melibatkan diri di dalamnya. Sikap apatis ini terwujud di dalam ketidakacuhannya akan apa yang terjadi di masyarakatnya.
c. kecemasan dan kurangnya harga diri
Kata stess atau frustasi semakin umum dipakai kalangan remaja. Banyak kaum muda yang mencoba mengatasi rasa cemasnya dalam bentuk “pelarian” (memburu kenikmatan lewat minuman keras, obat penenang, seks dan lainnya).
d. ketidakmampuan untuk terlibat
Kecenderungan untuk mengintelektualkan segala sesuatu dan pola pikir ekonomis, membuat para remaja sulit melibatkan diri secara emosional maupun efektif dalam hubungan pribadi dan dalam kehidupan di masyarakat. Persahabatan dinilai dengan untung rugi atau malahan dengan uang.
e. perasaan tidak berdaya
Perasaan tidak berdaya ini muncul pertama-tama karena teknologi semakin menguasai gaya hidup dan pola berpikir masyarakat modern. Teknologi mau tidak mau menciptakan masyarakat teknokratis yang memaksa kita untuk pertama-tama berpikir tentang keselamatan diri kita di tengah2 masyarakat. Lebih jauh remaja mencari “jalan pintas”, misalnya menggunakan segala cara untuk tidak belajar tetapi mendapat nilai baik atau ijasah.
f. pemujaan akan pengalaman
sebagian besar tindakan2 negatif anak muda dengan minumam keras, obat2an dan seks pada mulanya berawal dari hanya mencoba-coba. Lingkungan pergaulan anak muda dewasa ini memberikan pandangan yagn keliru tentang pengalaman.
Bentuk2 dari perbuatan yang anti sosial antara lain :
a. Anak2 muda yang berasal dari golongan orang kaya yang biasanya memakain pakaian yang mewah, hidup hura2 dengan pergi ke diskotik merupakan gaya hidup mewah yang tidak selaras dengan kebiasaan adat timur.
b. Di sekolah, misalnya dengan melanggar tata tertib sekolah seperti bolos, terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan tugas dan lain sebagainya.
c. Ngebut, yaitu mengendarai mobil atau motor ditengah-tengah keramaian kota dengan kecepatan yang melampaui batas maksimum yang dilakukan oleh para pemuda belasan tahun.
d. Membentuk kelompok (genk2) anak muda yang tingkah lakunya sangant menyimpang dengan norma yagn berlaku di masyarakat, seperti tawuran antar kelompok .


                                                                             oleh  : Nurita Putranti
                                                      

Selasa, 05 April 2011

KENAKALAN REMAJA SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG HUBUNGANNYA DENGAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL KELUARGA



Abstrak

Masalah sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual, individu sebagai  satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk  pendekatan sistem, individu sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem sebagai sumber masalah. Berdasarkan  penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa ternyata ada hubungan negative antara kenakalan remaja dengan keberfungsian keluarga. Artinya semakin meningkatnya keberfungsian sosial  sebuah keluarga dalam melaksanakan tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya maka akan semakin rendah tingkat kenakalan anak-anaknya atau kualitas kenakalannya semakin rendah. Di samping itu penggunaan waktu luang yang tidak terarah merupakan sebab yang sangat dominan bagi remaja untuk melakukan perilaku menyimpang.


I.        PENDAHULUAN

Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang.  Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui  jalur tersebut berarti telah menyimpang.

Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.                                                                
Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan remaja (Kauffman , 1989 : 6) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.

Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil. Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Pondok Pinang Jakarta Selatan tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas. Sutherland dalam (Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan  tindakan kriminal.

Mengenai pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986:10) bahwa seorang dapat menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang biasa dan wajar.


II.      TUJUAN PENELITIAN

1. Mengidentifkasi dan memberikan gambaran bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan remaja di pinggiran kota metropolitan Jakarta, yaitu di kelurahan
       Pondok Pinang.
2.   Untuk mengetahui hubungaanan aaantara kenakalan remaja dengan keberfungsian sosial keluarga
 3.  Penelitian ini ingin memberikan sumbangan bagi pemecahan masalah kenakalan   remaja dengan memanfaatkan keluarga sebagai basis dalam pemecahan masalah.
  
III.    METODE PENELITIAN

Metode  yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pemilihan metode ini karena penelitian yang dilakukan ingin mempelajari masalah-masalah dalam suatu masyarakat, juga hubungan antar fenomena, dan membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian yang ada.

Cara pemilihan sampel yang dilakukan pertama memilih wilayah yang mempunyai kategori miskin, dengan cara melihat kondisi mereka yang perumahannya di bawah standar, dengan kondisi penduduk yang sangat padat, lingkungan yang tidak teratur dan perkiraan tingkat kesehatan masyarakatnya yang buruk. Setelah itu konsultasi dengan ketua RW dan ketua-ketua RT untuk mencari informasi tentang warganya yang dianggap telah melakukan kenakalan, dengan perspektif labeling. Dari informasi tersebut data pada tiga RT. Berdasarkan data tersebut kita jadikan populasi dengan jumlah 40 remaja dan keluarga yang akan dijadikan unit dalam analisis. Dari jumlah tersebut dibuat listing dan tiap RT diambil 10 sampel (remaja dan keluarga) sehingga mendapat 30 responden. Pengambilan sample ini dengan cara random.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dipandu dengan daftar pertanyaan.

Responden remaja dalam penelitian ini ditentukan bagi mereka yang berusia 13 tahun-21 tahun. Mengingat pengertian anak dalam Undang-undang no 4 tahun 1979 anak adalah mereka yang berumur sampai 21 tahun. Dengan pertimbangan pada usia tersebut, terdapat berbagai masalah dan krisis diantaranya; krisis identitas, kecanduan narkotik, kenakalan, tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah, konflik mental dan terlibat kejahatan (lihat transaksi individu-individu dan keluarga-keluarga dengan sistem kesejahteraan sosial).

IV.   KERANGKA KONSEP

  1. Konsep Kenakalan Remaja

Pada dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono (1988 : 93) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut “kenakalan”. Dalam Bakolak inpres no: 6 / 1977 buku pedoman 8, dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku / tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.                                              
Singgih D. Gumarso (1988 : 19), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu : (1) kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa. Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan ; (1) kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit (2) kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin (3) kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll. Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam penelitian.

Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985 : 73). Bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat.

  1. Keberfungsian sosial

Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan dianggap efektif diantarannya jika suatu keluarga mampu melaksanakan tugas-tugasnya, menurut (Achlis, 1992) keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi social tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam mewujudkan nilai dirinnya mencapai kebutuhan hidupnya.

Keberfungsian sosial kelurga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta adaptasi resprokal antara keluarga dengan anggotannya, dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi social secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunnya jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.

                                                             
V.     HASIL PENELITAN

A.     Bentuk Kenakalan Yang Dilakukan Responden

Berdasarkan data di lapangan dapat disajikan hasil penelitian tentang kenakalan remaja sebagai salah satu perilaku menyimpang hubungannya dengan keberfungsian sosial keluarga di Pondok Pinang pinggiran kota metropolitan Jakarta. Adapun ukuran yang digunakan untuk mengetahui kenakalan seperti yang disebutkan dalam kerangka konsep yaitu (1) kenakalan biasa  (2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan dan (3) Kenakalan Khusus. Responden dalam penelitian ini berjumlah 30 responden, dengan jenis kelamin laki-laki 27 responden, dan perempuan 3 responden. Mereka berumur antara 13 tahun-21 tahun. Terbanyak mereka yang berumur antara 18 tahun-21 tahun.


Bentuk Kenakalan Remaja Yang Dilakukan Responden (n=30)

Bentuk Kenakalan

f
%
1.      Berbohong
2.      Pergi keluar rumah tanpa pamit
3.      Keluyuran
4.      Begadang
5.      membolos sekolah
6.      Berkelahi dengan teman
7.      Berkelahi antar sekolah
8.      Buang sampah sembarangan
9.      membaca buku porno
10. melihat gambar porno
11. menontin film porno
12. Mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM
13. Kebut-kebutan/mengebut
14. Minum-minuman keras
15. Kumpul kebo
16. Hubungan sex diluar nikah
17. Mencuri
18. Mencopet
19. Menodong
20. Menggugurkan Kandungan
21. Memperkosa
22. Berjudi
23. Menyalahgunakan narkotika
24. Membunuh

30
30
28
26
7
17
2
10
5
7
5
21
19
25
5
12
14
8
3
2
1
10
22
1
100
100
93,3
98,7
23,3
56,7
6,7
33,3
16,7
23,3
16,7
70,0
63,3
83,3
16,7
40,0
46,7
26,7
10,0
6,7
3,3
33,3
73,3
3,3

                                          
Bahwa seluruh responden pernah melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan biasa seperti berbohong, pergi ke luar rumah tanpa pamit pada orang tuanya, keluyuran, berkelahi dengan teman, membuang sampah sembarangan dan jenis kenakalan biasa lainnya. Pada tingkat kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, mencuri,minum-minuman keras, juga cukup banyak dilakukan oleh responden. Bahkan pada kenakalan khususpun banyak dilakukan oleh responden seperti hubungan seks di luar nikah, menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta menggugurkan kandungan walaupun kecil persentasenya. Terdapat cukup banyak dari mereka yangkumpul kebo. Keadaan yang demikian cukup memprihatinkan. Kalau hal ini tidak segera ditanggulangi akan membahayakan baik bagi pelaku, keluarga, maupun masyarakat. Karena dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari yang semakin kompleks.  

B. Hubungan Antara Variabel Independen dan Dependen

    1. Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan

Salah satu hubungan variabel yang disajikan disini adalah hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan. Hal ini untuk mengetahui apakah anak laki-laki lebih nakal dari anak perempuan atau probalitasnya sama. Berdasarkan tabel hubungan diperoleh data sebagai berikut; Anak laki-laki yang melakukan kenakalan biasa 3 responden (10%), kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan  2 responden, dan kenakalan khusus 22   responden (73,3%). Sedangkan anak perempuan yang melakukan kenakalan biasa 2 responden (2,7%) dan kenakalan khusus 1 responden (3,3%). Kenyataan tersebut menunjukkan  bahwa sebagian besar yang melakukan kenakalan khusus  adalah anak laki-laki (73,3%), namun terdapat juga anak perempuannya. Kalau dibandingkan diantara 27 responden anak laki-laki 22 responden (81,5%) diantaranya melakukan kenakalan khusus, sedangkan dari 3 responden perempuan 1 responden  (33,3%) yang melakukan kenakalan khusus, berarti probababilitas anak laki-laki lebih besar kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus. Demikian juga yang melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan,  anak perempuan tidak ada yang melakukannya. Dengan demikian maka anak laki-laki kecenderungannya akan melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan lebih dibandingkan dengan anak perempuan.

    1. Hubungan antara pekerjaan responden dengan tingkat kenakalan yang dilakukan
Berdasarkan data yang ada, pekerjaan responden adalah sebagai pelajar dan  tidak bekerja (menganggur) masing-masing 13 responden (43,3%), sebagai buruh dan berdagang  masing-masing 2 responden (6,7%). Dari tabel  korelasi persebaran datanya sebagai berikut; Pelajar yang melakukan kenakalan biasa 5 responden (16,7%), kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan 2 responden (6,7%),  dan kenakalan khusus 6 responden (20%) . Sedangkan mereka yang tidak bekerja (menganggur) semuanya 13 responden melakukan kenakalan khusus, juga mereka yang bekerja sebagai pedagang dan buruh semuanya melakukan kenakalan khusus. Dari  data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecenderungan untuk melakukan kenakalan khusus ataupun jenis kenakalan lainnya adalah mereka yang tidak sibuk, atau banyak waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif.

2.      Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan

Seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin rendah  melakukan kenakalan. Sebab dengan pendidikan yang semakin tinggi, nalarnya semakin baik. Artinya mereka tahu aturan-aturan ataupun norma sosial mana yang seharusnya tidak boleh dilanggar. Atau mereka tahu rambu-rambu mana yang harus dihindari dan mana yang harus dikerjakan. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Mereka yang tamat SLTA justru yang paling banyak melakukan tindak kenakalan 17 responden (56,7%) yang berarti separoh lebih,  dengan terbanyak 12 responden (40%) melakukan kenakalan khusus, 2 responden (6,7%) melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, dan 4 responden (13,3%) melakukan kenakalan biasa. Demikian juga mereka yang pendidikan terakhirnya SLTP, dari 12 responden, 11 responden (36,7%) melakukan kenakalan khusus. Sedang mereka yang hanya tamat SD 1 responden juga melakukan kenakalan khusus. Dengan demikian maka tidak ada hubungan antara tingkatan pendidikan dengan  kenakalan yang dilakukan, artinya semakin tinggi pendidikannya tidak bisa dijamin untuk tidak melakukan kenakalan. Artinya di lokasi penelitian kenakalan remaja yang dilakukan bukan karena rendahnya tingkat pendidikan mereka, karena disemua tingkat pendidikan dari SD sampai dengan SLTA  proporsi untuk melakukan kenakalan sama kesempatannya. Dengan demikian faktor yang kuat adalah seperti yang disebutkan di atas, yaitu adanya waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif, dan adanya pengaruh buruk dalam sosialisasi dengan teman bermainnya atau faktor lingkungan sosial yang besar pengaruhnya.
  
                                                          
C. Hubungan Antara Kenakalan Remaja Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga
  
Dalam kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga, diantaranya   adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi keluarga  yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya.

1.      Hubungan antara pekerjaan orang tuanya dengan tingkat kenakalan

      Untuk mengetahui apakah kenakalan juga ada hubungannya dengan pekerjaan orangtuanya, artinya tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Karena pekerjaan orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan data yang ada mereka yang pekerjaan oangtuanya sebagai pegawai negeri 5 responden (16,7%), berdagang 4 responden (13,3%), buruh 5 responden (16,6%), tukang kayu 2 responden (6,7%), montir/sopir 6 responden (20%), wiraswasta 5 responden (16,6%), dan pensiunan 1 responden (3,3%).
                             7
Dari tabel korelasi diketahui bahwa kecenderungan anak pegawai negeri walaupun melakukan kenakalan, namun pada tingkat kenakalan biasa. Lain halnya bagi mereka yang orang tuanya mempunyai pekerjaan dagang, buruh, montir/sopir, dan wiraswasta yang kecendrungannya melakukan kenakalan khusus. Hal ini berarti pekerjaan orang tua berhubungan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Keadan yang demikian karena mungkin bagi pegawai negeri lebih memperhatikan anaknya untuk mencapai masa depan yang lebih baik, ataupun kedisiplinan yang diterapkan serta nilai-nilai yang disosisalisasikan lebih efektif. Sedang bagi mereka yang bukan pegawai negeri  hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada sosialisasai penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat dari semua itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang kurang mengarahkan pada kehidupan yang normative.

2.      Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan

         Secara teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap kenakalan remaja. Artinya banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga
.
Dilihat dari keutuhan struktur keluarga, 21 responden (70%) dari keluarga utuh, dan 9 responden dari keluarga tidak utuh. Berdasarkan data pada tabel korelasi ternyata struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan jaminan bagi anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan khusus. Karena ternyata mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih banyak yang melakukan kenakalan khusus.

Namun jika dilihat dari keutuhan dalam interaksi, terlihat jelas bahwa mereka  yang melakukan kenakalan khusus berasal dari keluarga yang interaksinya kurang dan tidak serasi sebesar 76,6%. Perlu diketahui bahwa keluarga yang interaksinya serasi berjumlah 3 responden (10%), sedangkan yang interaksinya kurang serasi 14 responden (46,7%), dan yang tidak serasi 13 responden (43,3%). Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus. 

3.      Hubungan antara kehidupan beragama keluarganya dengan tingkat kenakalan

Kehidupan beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama. Berdasarkan data yang ada mereka yang keluarganya taat beragama 6 responden (20%), kurang taat beragama 15 responden (50%), dan tidak taat beragama 9 responden (30%). Dari tabel korelasi diketahui 70% dari responden yang keluarganya kurang dan tidak taat beragama melakukan kenakalan khusus.

      Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi  keluarga sangat berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.

4.      Hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan

      Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3 responden (10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari tabel korelasi diperoleh data seluruh responden yang orang tuanya tidak memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus.  Dari kenyataan tersebut ternyata peranan keluarga dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak.

5.      Hubungan antara interaksi keluarga dengan lingkungannya dengan tingkat kenakalan

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan lingkungan sosialnya berjumlah 8 responden (26,6%), kurang serasi 12 responden (40%), dan tidak serasi 10 responden (33,4%). Dari data yang ada terlihat bagi keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. Keadaan tersebut dapat dilihat dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus   19 responden dari dari keluarga yang interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak serasi.

6. Pernah tidaknya responden ditahan dan dihukum hubungannya dengan  keutuhan struktur dan interaksi keluarga, serta ketaatan keluarga dalam menjalankan kewajiban beragama 
                          
Data tentang responden yang pernah ditahan berjumlah 15 responden, dari jumlah tersebut 3 responden (20%) karena kasus perkelaian, masing-masing 1 responden (6,7%) karena kasus penegeroyokan dan pembunuhan, 5 responden (33,3%) karena kasus obat terlarang (narkotika) dan 8 responden (53,3%) karena kasus pencurian.                 

      Sedangkan responden yang pernah dihukum penjara berjumlah 10 responden dengan rincian 7 responden karena kasus pencurian, masing-masing 1 responden karena ksus pengeroyokan, pembunuhan, dan narkotika. Adapun lamanya mereka dihukum antara 1 bulan-3 tahun, dengan rincian sebagai berikut 4 responden (40%) dihukum penjara selama 1 bulan, 3 responden (30%) dihukum 3 bulan, masing-masing 1 responden (10%) dihukum 7 bulan, 2 tahun, dan 3 tahun . Dari responden yang pernah ditahan dan di hukum semuanya dari keluarga yang struktur keluarganya utuh, tetapi interaksinya kurang dan tidak serasi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah interaksi dalam keluarga merupakan sebab utama seorang remaja sampai ditahan dan dihukum penjara. Sedangkan dari sudut ketaatan dalam menjalankan kewajiban agam bagi keluarganya masih terdapat 1 responden yang pernah ditahan dan dihukum karena kasus pencurian. Artinya bahwa ketaatan beragama dari keluarganya belum menjamin anaknya bebas dari kenakalan dan ditahan serta dihukum.

D. Analisis Hubungan Antara Keberfungsian Sosial Keluarga dengan Kenakalan
      Remaja
          Setelah dianalisis secara bivariat antara beberapa variabel, maka untuk melengkapinya dianalisis secara statistik dengan rumus product moment guna  melihat keeratan hubungan tersebut. Berdasarkan tabel distribusi koefisiensi korelasi product moment diperoleh data sebagai berikut; nilai x = 510   y = 322 x2 = 9.010    y2 = 3.752     xy = 5.283    hasil perhitungan yang diperoleh = - 0,6022. Sedang nilai r yang diperoleh dalam tabel dengan taraf significansi 5%, dengan sampel 30 adalah 0,361   Berdasarkan data tersebut karena nilai r yang diperoleh dari hasil penelitian jauh dari batas significansi nilai r yang diperolehnya  berarti ada hubungan negative antara keberfungsian keluarga dengan kenakalan remaja yang dilakukan. Artinya semakin tinggi tingkat berfungsi sosial keluarga, akan semakin rendah tingkat kenakalan remajanya, demikian sebaliknya semakin rendah keberfungsian sosial keluarga maka akan semakin  tinggi tingkat kenakalan remajanya.
     
      Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa secara jenis kelamin terlihat remja pria lebih cenderung melakukan kenakalan pada tinglat khusus, walaupun demilikan juga remaja perempuan yang melakukan kenakalan khusus. Dari sudut pekerjaan atau kegiatan sehari-hari remaja ternyata yang menganggur mempunyai kecenderungan tinggi melakukan kenakalan khusus demikian juga mereka yang  berdagang dan menjadi buruh juga tinggi kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus. Pemenuhan kebutuhan keluarga juga berpengaruh pada tingkat kenakalan remajanya, artinya bagi keluarga yang tiap hari hanya berpikir untuk memenuhi kebutuhan keluarganya seperti yang orang tuanya bekerja sebagai buruh, tukang, supir dan sejenisnya ternyata anaknya kebanyakan melakukan kenakalan khusus. Demilian juga bagi keluarga yang interaksi sosialnya kurang dan tidak serasi anak-anaknya melakukan kenakalan khusus. Kehidupan beragama keluarga juga berpengaruh kepada tingkat kenakalan remajanya, artinya dari keluarga yang taat menjalankan agama anak-anaknya hanya melakukan kenakalan biasa, tetapi bagi keluarga yang kurang dan tidak taat menjalankan ibadahnya anak-anak mereka pada umumnya melakukan kenakalan khusus.Hal lain yang dapat dilihat bahwa sikap orang orang tua dalam sosialisasi terhadap anaknya juga sangat berpengaruh terhadap tingkat kenakalan yang dilakukan, dari data yang diperoleh bagi keluarga yang kurang dan masa bodoh dalam pendidikan (baca sosialisasi) terhadap anaknya maka umumnya anak mereka melakukan kenakalan khusus. Dan akhirnya keserasian hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya juga berpengaruh pada kenakalan anak-anak mereka. Mereka yang hubungan sosialnya dengan lingkungan serasi anak-anaknya walaupun melakukan kenakalan tetapi pada tingkat kenakalan biasa, tetapi mereka yang kurang dan tidak serasi hubungan sosialnya dengan lingkungan anak-anaknya melakukan kenakalan khusus.   

VI.               Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, ditemukan bahwa remaja yang memiliki waktu luang banyak seperti mereka yang tidak bekerja atau menganggur dan masih pelajar kemungkinannya lebih besar untuk melakukan kenakalan atau perilaku menyimpang. Demikian juga dari keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya rendah maka kemungkinan besar anaknya akan melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat.Sebaliknya bagi keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya tinggi maka kemungkinan anak-anaknya melakukan kenakalan sangat kecil, apalagi kenakalan khusus. Dari analisis statistik (kuantitatif) maupun kualitatif dapat ditarik kesimpulan umum  bahwa ada hubungan negatif antara keberfungsian sosial keluarga dengan kenakalan remaja, artinya bahwa semakin tinggi keberfungsian social keluarga akan semakin rendah kenakalan yang dilakukan oleh remaja. Sebaliknya semakin ketidak berfungsian sosial suatu keluarga maka semakin tinggi tingkat kenakalan remajanya (perilaku menyimpang yang dilakukanoleh remaja. Berdasarkan kenyataan di atas, maka untuk memperkecil tingkat kenakalan remaja ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu meningkatkan keberfungsian sosial keluarga melalui program-program kesejahteraan sosial yang berorientasi pada keluarga dan pembangunan social yang programnya sangat berguna bagi pengembangan masyarakat secara keseluuruhan Di samping itu untuk memperkecil perilaku menyimpang remaja dengan memberikan program-program untuk mengisi waktu luang, dengan meningkatkan program di tiap karang taruna. Program ini terutama diarahkan pada peningkatan sumber daya manusianya yaitu program pelatihan yang mampu bersaing dalam pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan.

      

                                                                                                                     Masngudin HMS.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More